Gaung Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) semakin
terngiang-ngiang tiap waktu. Banyak artikel, seminar, debat, serta pelatihan
yang membahas dan mempersiapkan diri untuk menyambut MEA yang tak lama lagi.
Sayangnya tidak seluruh warga negara Indonesia ini optimisme untuk menghadapi
MEA tahun depan, bahkan besar dari mereka seolah tutup mata dan tak peduli. “Apa
yang terjadi, terjadilah” itulah kenyataan yang sering terlihat.
Saya sebagai mahasiswi jurusan Akuntansi-pun masih bingung apa yang harus saya lakukan untuk menghadapi MEA? Para dosen sesekali mengingatkan bahwa tantangan sebagai akuntan kedepan akan semakin sulit apabila saya tidak mau mendorong diri sendiri untuk meningkatkan soft-skills saya. Kemampuan berbahasa Inggris, kecakapan mengelola teknologi, mampu membawa diri dengan baik, dan etos kerja yang tinggi merupakan beberapa soft-skills yang harus dimiliki untuk menghadapi MEA.
Saya sebagai mahasiswi jurusan Akuntansi-pun masih bingung apa yang harus saya lakukan untuk menghadapi MEA? Para dosen sesekali mengingatkan bahwa tantangan sebagai akuntan kedepan akan semakin sulit apabila saya tidak mau mendorong diri sendiri untuk meningkatkan soft-skills saya. Kemampuan berbahasa Inggris, kecakapan mengelola teknologi, mampu membawa diri dengan baik, dan etos kerja yang tinggi merupakan beberapa soft-skills yang harus dimiliki untuk menghadapi MEA.
Ketika MEA menjadi kenyataan, persaingan dalam mencari
pekerjaan semain berat. Kenyataannya Indonesia dianggap sebagai salah satu
negara yang berpotensi untuk mencari pekerjaan dan memperoleh penghidupan yang
lebih baik. Sebagai contoh, upah buruh di Vietnam sekitar Rp 1.500.000,-
sedangkan di Indonesia upah buruh tembus Rp 2.000.000,- lebih, salah satu
contoh lain adalah budaya warga negara Filipina bersedia bekerja lebih lama
tanpa gaji lembur, hal ini menunjukan etos kerja yang sangat tinggi. Mampukah
kami –para pencari kerja- bersaing dengan mereka?
Ketakutan untuk tidak mampu bersaing dengan akuntan
bangsa lain yang berpartisipasi dalam MEA memang menjadi bayangan hitam
terbesar saat ini. Di dalam budaya kita memang sudah tertanam bahwa bangsa lain
memang memiliki kualitas yang jauh lebih baik dari kita. Salah satu contoh-nya
adalah sertifikasi akuntan di negara ASEAN lainnya sebagaian besar bertingkat internasional
yang artinya akuntan tersebut layak bekerja diberbagai belahan negara di dunia
ini, sedangkan kita -akuntan muda- melihat untuk mencapai sertifikasi sudah
tidak percaya diri terlebih dahulu. Takut apabila tidak lulus sertifikasi
walaupun itu masih dalam tingkat nasional.
Para akuntan harus menyiapkan diri dengan cara
mengikuti sertifikasi profesi. Saya sebagai mahasiswi yang masih duduk
disemester tiga tentu tak mungkin untuk mengikuti sertifikasi profesi akuntansi
bahkan untuk bergabung dengan Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) belum layak. Bagaimana
saya mau bersaing dengan mereka –para akuntan senior yang memiliki sertifikasi
yang cukup baik dan banyak- ? Saya merasa tidaklah adil jika situasinya seperti
ini.
Para calon akuntan muda Indonesia sebaiknya tidak
memiliki pemikiran pesimis terlebih dahulu dalam menghadapi MEA yang dimulai
2015 mendatang. Anggaplah kesempatan kita yang masih duduk dibangku kuliah ini
sebagai “mencuri start” dari para
senior-senior kita. Kita dapat menggunakan kesempatan ini untuk mengasah soft-skills kita, terutama Bahasa Inggris
yang menjadi momok sebagian besar warga Indonesia.
Sumber refrensi :
http://myditarizki.wordpress.com/2014/04/24/tantangan-dan-peluang-akuntan-indonesia-dalam-menghadapi-mea-2015/
diaksek 24 November 2014 pukul 21:40 WIB
http://swa.co.id/business-strategy/jelang-mea-2015-akuntan-bersertifikasi-internasional-semakin-dibutuhkan
diakses 24 November 2014 pukul 21:40 WIB
http://robbyjuliantoblog.wordpress.com/2014/11/14/jasa-akuntan-dalam-hadapi-tantangan-mea-2015/
diakses 24 November 2014 pukul 22:15 WIB
Karya tulis ini dibuat oleh :
Iin Christanti ( NRP
: 3203013057 )
Tidak ada komentar:
Posting Komentar